Minggu, 15 Agustus 2010

Aborsi Dalam Perspektif Islam

Pengertian
Menurut bahasa aborsi berarti menggugurkan kandungan atau dalam dunia kedokteran dikenal dengan istilah “abortus”. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa abortus dalam istilah kedokteran berarti “terpencarnya embrio yang tidak mungkin lagi hidup (sehabis bulan keempat dari bulan kehamilan”[1].
Dalam bahasa Arab aborsi disebut dengan istilah “ijhâdh” yang berarti pengguguran anak[2]. Atau sering juga disebut dengan istilah isqâth, ilqâ`, tharh, atau imlâsh dengan pengertian dan makna yang sama.
Menurut istilah ulama, aborsi berarti menggugurkan kandungan atau janin yang belum sempurna organ tubuhnya dari rahim wanita sebelum habis masa kandungan[3]. Dalam mu’jamul wasîth ijhâfh ijhadh khusus untuk keluarnya janin dari rahim sebelum bulan keempat[4].
Urgensi permasalahan
Menggugurkan kandungan adalah permasalahan yang sudah muncul sejak lama. Para ulama fikih banyak membahas masalah ini dalam buku-buku fiqih klasik khususnya dalam permasalahan ghurrah (diyat janin).
Masalah ini kembali muncul dalam pembahasan para ulama di zaman kontemporer setelah penemuan kedokteran tentang awal kehidupan manusia. Setelah penemuan ini para ahli dalam bidang kedokteran menetapkan bahwa kehidupan seseorang mulai dihitung semenjak awal masa kehamilan. Yaitu semenjak sperma bertemu dengan sel telur di dalam rahim. Landasan ketetapan ini adalah bahwa hakikat genetik seseorang sudah sempurna sejak awal masa kehamilan. Dan genetik ini sudah memiliki karakteristik sendiri yang membedakan dia dari makhluk hidup yang lain.
Hakikat ini menuntut kita untuk menjaga jiwa janin dan melindunginya pada setiap fase kehamilan. Dan tidak dibolehkan bagi siapapun untuk menggugurkannya kecuali karena sebab yang dharurat[5].
Bentuk-bentuk aborsi
Bentuk-bentuk aborsi dapat dibagi berdasarkan kepada beberapa sisi berikut:
a.       Dari sisi tujuan dapat dibagi sebagai berikut:
  1. Aborsi Spontan (Alamiah). Bentuk ini berlangsung tanpa tindakan apapun.  Kebanyakan disebabkan karena kurang baiknya kualitas sel telur dan sel sperma[6].
  2.  Aborsi yang didasarkan kepada beberapa faktor pendorong berikut:
®     Dorongan sosial, sperti dorongan ingin menjaga nama baik pada saat menggugurkan kandungan yang dihasilkan dari perbuatan zina[7].
®     Dorongan medis, atau yang dikenal dengan istilah aborsi Terapeutik. Aborsi terapeutik adalah pengguguran kandungan buatan yang dilakukan atas indikasi medik.  Sebagai contoh, calon ibu yang sedang hamil tetapi mempunyai penyakit darah tinggi menahun atau penyakit jantung yang parah yang dapat membahayakan baik calon ibu maupun janin yang dikandungnya. Tetapi ini semua atas pertimbangan medis yang matang dan tidak tergesa-gesa[8].
b.      Dari sisi sarana yang dipakai, aborsi dapat dibagi sebagai berikut:
  1. Aborsi dengan sarana-sarana yang lansung. Seperti aborsi yang disebabkan oleh pukulan, benturan, atau kesalahan dalam memakai alat kedokteran.
  2. Aborsi dengan sarana-sarana yangn tidak lansung. Seperti aborsi yang disebabkan oleh suara yang terlalu keras, cacian, atau aancaman dengan pukulan atau kematian.
c.       Dari sisi fase kehamilan, aborsi dapat dibagi sebagai berikut:
  1. Aborsi sebelum empat puluh hari kehamilan.
  2. Aborsi antara 40 hari dan 4 bulan kehamilan.
  3. Aborsi setelan bulan keempat kehamilan.
Permasalahan yang berkaitan
Masalah yang berkaitan dengan masalah ini adalah mengontrol jenis kelamin janin. Kedua masalah ini sama-sama menjadikan janin sebagai objek. Perbedaan keduanya adalah pada tujuan masing-masing. Tujuan aborsi adalah menggugurkan kandungan sebelum melahirkan. Sedangkan tujuan mengontrol jenis kelamin janin adalah memilih jenis kelamin janin sesuai dengan yang diinginkan. bisa dengan cara menggugurkan kandungan (bila jenis kelamin tidak sesuai dengan keinginan) kemudian melakukan pembuahan kembali atau dengan cara yang lain. Berarti aborsi adalah salah satu cara dari beberapa cara yang dipakai dalam memilih jenis kelamin janin.
Penyebab perselisihan ulama
Perselisiahan ulama dalam masalah ini secara singkat bisa disebabkan oleh beberapa point berikut:
  1. Tidak ada teks yang sharih (pasti) tentang hokum aborsi. Teks yang ada hanyalah tentang ghurrah (diat janin) dan hadits Ibnu Mas’ud tentang awal penciptaan manusia.
  2. Perbedaan ulama dalam melihat fase-fase pertumbuhan janin.
Titik perselisihan ulama
Ulama sepakat bahwa aborsi spontan tampa kesengajaan tidak termasuk dosa dan tidak dianggap tindakan pidana. Karena hokum Syar’I hanya dibangun atas keinginan dan kesengajaan. Sebagaimana dalam kaidah yang mengatakan:
الأمور بمقاصدها
Setiap urusan tergantung kepada tujuan dan maksudnya.
 Ulama juga sepakat bahwa hukum menggugurkan  kandungan karena alasan kelaliman atau agresif adalah haram dalam syari’at Islam berdasarkan kepada firman  Allah SWT sebagai berikut:
ولا تعتدوا إن الله لا يحب المعتدين
“Dan janganlah engkau melampaui batas, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” Q. Q. Al-baqarah 190.
Ulama juga sepakat bahwa menggugurkan kandungan karena dharurat (terpaksa) dan bukan karena agresif adalah dibolehkan dengan beberapa alasan berikut:
1-      Firman Allah SWT:
فمن اضطر غير باغ ولا عاد فإن ربك غفور رحيم
Barang siapa yang dalam keadaan terpaksasedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu maha pengampun lagi maha penyayang. Q. S.  Al-an’âm: 145
2-      Firman Allah SWT:
وقد فصل لكم ما حرم عليكم إلا ما اضطررتم إليه
“Mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-binatang yang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya.” Q. S. Al-an’âm: 119
3-      Hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam:
رفع عن أمتي الخطأ والنسيان وما استكرهوا عليه
“Dimaafkan bagi umatku setiap kesalahan, lupa, dan kondisi yang memaksa”. H. R. Ibnu Hibbân, Al-baihaqî, dan Daraquthnî.
Kemudian ulama berbeda pendapat tentang beberapa permasalahan apakah ia termasuk pada aborsi agresif dan kelaliman atau termasuk pada keterpaksaan. Seperti permasalahan janin yang cacat dan masalah wanita yang diketahui sejak dini melalui pemeriksaan kedokteran bahwa dia tidak akan sanggup menanggung beban kehamilan, sementara belum kelihatan tanda-tanda melemah dari diri wanita itu. Karena itu ulama berbeda pendapat ada yang membolehkan dan ada yang tidak membolehkan[9].
Pendapat yang berkembang
Dalam pembahasan fiqih dijelaskan bahwa seseorang yang melakukan tindakan pidana kepada seorang ibu hamil, kemudian menyebabkan keguguran kandungannya, maka dikenakan ghurrah atau diat. Ghurrah dikenakan kepada pelaku bila janin yang gugur mati di dalam kandungan. Sedagnkan diat dikenakan kepada pelaku bila janinnya lahir karena perlakuannya dalam keadaan hidup kemudian meniggal[10]. Harga ghurrah adalah seribu dinar emas atau sekitar 425 gram emas.
Ulama berbedap pendapat tentang aborsi yang dianggap tindakan pidana dan menyebabkan hak janin wajib dikeluarkan (ghurrah). Berikut beberapa pendapat yang berkembang di kalangan ahli fiqih:
  1. Pendapat yang tidak membatasi dengan batasan waktu tertentu. Pendapat ini mewajibkan ghurrah semenjak awal masa kehamilan.
  2. Pendapat yagn membatasi dengan batas waktu tertentu. Pengusung pendapat ini terbagi kepada dua kelompok:
    1. Kelompok pertama mewajibkan ghurrah semenjak ruh ditiupkan kepadanya yaitu umur 120 hari. Pendapat ini diusung oleh jumhur ulama.
    2. Kelompok kedua mewajibkan hak janin setelah sempurna bentuk organ tubuhnya di dalam kandungan. Yaitu sekitar 6 bulan masa kehamilan. Pendapat ini masyhur di kalangan Hanabilah.
Permasalahan ini kemudian berkembang seiring dengan kemajuan teknologi dan ilmu kedokteran. Terutama penemuan tentang kehidupan manusia yang terhitung semenjak awal masa kehamilan. Apakah jumhur ulama masih berpegang kepada pendapat semula bahwa ghurrah dikenakan setelah peniupan ruh atau berpegang kepada pendapat Imam Malik yang mengatakan kehormatan janin semenjak awal kehamilan sebagaimana penemuan kedokteran.  Ini perlu pembahasan yang mendalam dan pertimbangan yang matang dari berbagai aspek, kondisi, kepakaran dan lain-lain.
Pendapat lain yang memungkinkan untuk muncul adalah pendapat yang membolehkan secara mutlak dan pendapat yang melarang secara mutlak.
Dalil masing-masing pendapat
Dalil pendapat pertama:
Karena kesempurnaan manusia tidak dapat terbentuk kecuali dengan menjaga awal penciptaannya.
Dalil kelompok pertama dari pendapat kedua:
Hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud bahwa, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Sesungguhnya kalian diciptakan di dalam kandungan ibunya setetes air selama 40 hari, kemudian dia akan menjadi segumpal darah selama itu juga, dan menjadi segumpal daging selama itu juga, kemudian seorang malakat diutus, lalu dia meniupkan ruh ke dalam dirinya.
Dalil kelompok kedua dari pendapat kedua:
Karena sebelum itu janin tidak akan bisa hidup walaupun lahir bukan karena aborsi.
Pendapat yang dipilih
Pendapat yang rajih adalah merinci permasalahan dengan mempertimbangkan berbagai aspek. Kadang dibolehkan karena pertimbangan tertentu, dan kadang tidak dibolehkan.
Contoh aborsi yang dibolehkan.
Pertanyaan
Memperhatikan permohonan fatwa No. 2119 tahun 2003, yang berisi:
Pemerintah Cina mengeluarkan undang-undang berkaitan dengan jumlah anak bagi bangsa Turkistan yang menjadi warga negara Cina. Jika ia adalah seorang petani atau tukang kayu, maka ia boleh memiliki anak hingga tiga orang dalam waktu sembilan tahun. Jika mempunyai anak lebih dari itu atau melahirkan secara berturut-turut, maka dia harus membayar denda yang berat. Adapun jika ia adalah seorang pegawai, maka ia hanya boleh memiliki dua orang anak dalam waktu enam tahun.
Berkaitan dengan itu, ada salah satu pasangan suami-istri yang bekerja sebagai pegawai telah dikaruniai dua orang anak. Namun, saat ini sang istri hamil kembali. Akhirnya, pemerintah mengeluarkan keputusan untuk memecat keduanya dari pekerjaannya jika kandungan sang istri tidak digugurkan. Usia janin itu baru tiga bulan setengah. Maka, apakah boleh menggugurkan kandungan tersebut karena khawatir akan dipecat dari pekerjaan, sedangkan mereka tidak mempunyai pekerjaan lain sebagai sumber penghidupan?
Jawaban
Fatwa Darul Ifta:
Jika kondisinya seperti yang disebutkan dalam pertanyaan, yaitu pemerintah akan mengeluarkan keputusan pemecatan bagi suami istri tersebut jika tidak menggugurkan kandungannya yang telah berusia tiga bulan setengah, padahal pekerjaan tersebut merupakan satu-satunya sumber penghidupan bagi keduanya, maka kami menfatwakan sebagai berikut:
Syariat menetapkan bahwa kondisi darurat membolehkan hal-hal yang dilarang. Jika pasangan suami istri tersebut terpaksa harus menggugurkan kandungan demi mempertahankan pekerjaan mereka sebagai satu-satunya sumber penghidupan, maka hal itu tidak apa-apa untuk dilakukan. Hal ini sesuai dengan firman Allah,
"Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (al-Baqarah: 173)
Kebolehan ini juga sesuai dengan pendapat para ulama Hanafi yang membolehkan mengugurkan kandungan sebelum berusia 120 hari, karena ketika itu belum ditiupkan ruh ke dalam tubuhnya.
Ibnu Abidin dalam al-Hasyiyah-nya berkata, "Seandainya seorang wanita mengeluarkan segumpal darah (embrio bayi) dan belum jelas sama sekali bentuknya sebagai manusia, lalu para bidan yang dapat dipercaya bersaksi bahwa itu merupakan embrio bayi manusia yang jika tetap hidup maka dia akan berbentuk, maka tidak ada ghurroh (diyat bayi) padanya (atas orang yang membuatnya keguguran)".
Ibnu Abidin juga berkata, "Seandainya bentuknya belum jelas sama sekali, maka tidak ada dosa karena (keguguran)nya"[11].
Contoh aborsi yang diharamkan.
Memperhatikan permintaan fatwa No. 537 tahun 2005, yang berisi:
Apa hukum aborsi (menggugurkan kandungan) dan mengakui anak zina?
Jawaban
Fatwa Darul Ifta
Syariah Islam menetapkan bahwa zina adalah perbuatan haram dan termasuk dalam dosa besar. Demikian juga homoseksual dan perilaku seks menyimpang. Salah satu hikmah dan tujuan syariah dalam pernikahan adalah untuk menjaga dan melindungi hak-hak anak. Karena itulah Islam memerintahkan untuk melakukan semua upaya guna merealisasikan perlindungan ini dan melarang semua hal yang berpotensi merusaknya.
Islam memerintahkan untuk menjaga kehormatan dan berakhlak mulia serta melarang perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Islam juga melarang laki-laki menyerupai perempuan, begitu pula sebaliknya. Pada kedua jenis manusia itu, Allah telah menciptakan karakteristik dan tugas yang berbeda sesuai dengan kodrat penciptaan masing-masing. Semua ini berkaitan erat dengan perhitungan amal setiap manusia pada hari kiamat, tugas memakmurkan bumi serta penyucian jiwa (tazkiyatun nafs). Kaum muslimin sangat yakin bahwa melanggar perintah-perintah dan larangan-larangan tersebut dapat menghancurkan sistem masyarakat serta menyebabkan akibat buruk di dunia dan akhirat. Hal itu akan menjadi suatu bencana besar di bumi yang harus dilawan, dan pihak-pihak yang melanggarnya diberi nasehat serta penjelasan tentang dampak negatif perbuatan mereka.
Dengan demikian, Islam menolak keras perilaku seks menyimpang dan sangat mengingkari perzinaan di kalangan remaja pubertas maupun kalangan dewasa. Islam juga mengharamkan penganiayaan terhadap jiwa yang diciptakan Allah SWT, seperti tindakan aborsi (menggugurkan kandungan) kecuali dalam keadaan darurat guna menjaga kesehatan ibu. Islam meletakkan kewajiban menjaga keturunan dalam salah satu tujuan utamanya dalam menetapkan hukum. Sebagaimana Islam tidak mengakui hubungan seks antara laki-laki dan perempuan kecuali dalam koridor agama melalui pernikahan, maka Islam juga menjadikan hubungan antara ayah dan anak sebagai hubungan religi bukan alami. Karena itulah, syariah Islam menetapkan bahwa sperma yang dikeluarkan melalui hubungan perzinaan tidaklah bernilai. Dalam kata lain, suatu perzinaan tidak dapat menciptakan hubungan anak dan bapak. Aisyah r.a. meriwayatkan bahwa Nabi saw. bersabda,
الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ
"Seorang anak adalah milik hubungan pernikahan, sedangkan orang yang berzina maka dia akan mendapatkan kerugian." (Muttafaq alaih).
Maksudnya adalah dampak negatif kenistaan dan kefasikan seorang pezina akan kembali padanya. Sehingga, dia tidak boleh menisbahkan anak hasil perzinaannya kepada dirinya, tapi anak itu dinisbahkan kepada ibunya saja. Hal ini karena hubungan antara ibu dan anak adalah hubungan alami, berbeda dengan ayah yang penisbatan kepada dirinnya tidak dapat diakui kecuali melalui jalur syar'i[12]. Ulyadi


[1] Kamus Besar Bahasa Indonesia hal 4.
[2] Kamus Almunawwir hal 219.
[3] Tsalâtsûna qadhiyyatan fil masailil fiqhiyyah ath-thibbiyyah al-mu’âshirah hal 17.
[4] Al-mu’jam al-wasîth hal 143.
[5] Tsalâtsûna qadhiyyatan fil masailil fiqhiyyah ath-thibbiyyah al-mu’âshirah hal 17.
[6] http://www.aborsi.org
[7] Ahkâkul ijhâdh fi al-fiqhi al-islâmi hal 115.
[8] http://www.aborsi.org
[9] Tsalâtsûna qadhiyyatan fil masailil fiqhiyyah ath-thibbiyyah al-mu’âshirah hal 17.
[10] Fiqih sunnah jild 2 hal 261 .
[11] Http://www.dar-alifta.com.
[12] Http://www.dar-alifta.com.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar